ANAK yang selalu merengek dan ngambek, bukan hanya karena dirinya bertabiat buruk. Bisa jadi anak merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian lebih dari orangtua.
Seperti halnya orang dewasa, anak-anak pun sudah memiliki banyak harapan dan keinginan. Bila harapan ini tak tercapai, seperti orang dewasa pula, anak akan menampakkan sebuah bentuk rasa kecewa. Namun, wujud dari rasa kecewanya itu tentu saja berbeda dengan yang dilakukan orang dewasa. Anak akan cenderung menampakkannya dengan tangisan dan rengekan.
Seperti yang dialami seorang ibu asal San Francisco, Amerika Serikat, Anne Crawford, 42, yang memiliki tiga anak berusia 8–13 tahun. Dia telah mendengar rengekan anakanaknya selama bertahun-tahun. “Anak-anak saya ngambek soal melakukan tugas atau tentang bagaimana rasa tidak adil, kalau salah satu punya sesuatu dan yang lainnya tidak,” kata Crawford yang berprofesi sebagai peneliti lepas.
“Saya bisa katakan bahwa anak akan merengek dengan sebuah batasan,” lanjutnya. Sebenarnya mengapa anak merengek? Menurut dokter anak dari San Francisco Bay Area, Amerika Serikat, Laurel Schultz MD, anak merengek untuk alasan yang sangat sederhana. “Rengekan biasanya ampuh untuk mendapatkan perhatian orang tua,” katanya seperti dikutip laman WebMD.
Merengek dengan suara keras berlaku efektif karena orang tua tidak bisa mengabaikan hal itu. Schultz menjelaskan, perilaku merajuk pada anak ini bukan sebuah strategi yang telah tertanam dalam diri anak, tetapi ini merupakan bagian dari cara dia belajar, di mana orang tua sering kali memainkan peranan. Menurut Schultz, jika seorang anak meminta sesuatu dengan cara yang sopan dan orang tua tidak merespons saat pertama atau kedua kalinya, anak akan menambah volume suaranya.
Seorang anak kecil dapat berteriak atau bahkan mengamuk; tetapi anak yang lebih tua, yang memiliki kontrol diri lebih baik, cenderung merengek. Untuk menghindari rengekan, Schultz menyarankan orang tua untuk tidak menunggu sampai anak-anak yang dalam kesulitan tersebut makin marah. “Sangat penting untuk segera menanggapi permintaan dia saat pertama kali diajukan, jika Anda bisa,” katanya.
“Jika Anda sedang menelepon atau di tengah percakapan, lakukan kontak mata dengan anak Anda dan pegang jarinya. Jadi, dia tahu Anda akan selalu bersamanya. Kemudian, berikan anak Anda perhatian segera setelah Anda dengan sopan menyetop sementara perbincangan dengan lawan bicara,” jelas Schultz.
Ketika merengek akhirnya tetap terjadi, kata pendidik dan psikolog perkembangan Becky Bailey PhD, orang tua harus menarik napas dalam-dalam dan mengingatkan diri bahwa anak tidak mencoba menjadi menjengkelkan, tetapi hanyalah untuk meminta bantuan. “Anda harus ingatkan anak untuk bicara apa yang dia inginkan. Katakan sesuatu seperti, ’Ibu, tidak suka kalau kamu merengek. Jika kamu ingin segelas susu, katakan saja’,” tuturnya.
Jika suatu kali Anda terpaksa harus berseberangan pendapat dengan si anak, kemukakan pendapat Anda secara tegas tetapi dengan lembut. Jangan membentaknya, apalagi sampai mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Mengatur emosi adalah hal yang harus Anda lakukan.
Abaikan pula rasa malu, misalnya karena dilihat banyak orang di tempat umum seperti di pertokoan atau di sekolah. Ingatlah bahwa ini adalah tahap penting dalam perkembangan emosi anak. Menjelaskan alasan mengapa Anda melarang dan menahan keinginan anak adalah hal yang harus Anda lakukan. Jangan pernah lemah, seperti langsung luluh hati dan mengabulkan permintaan anak hanya karena tak sanggup menghadapi rengekan anak.
Jika anak Anda terus merengek, dan Anda yakin itu bukan dari rasa nyeri atau sakit dalam tubuhnya, Bailey menyarankan orang tua untuk introspeksi. Karena bisa jadi, di balik perilaku cengeng mereka, anak ingin menyampaikan pesan yang lebih besar dari itu.
“Tanyakan pada diri sendiri, apakah saya terlalu sibuk dari biasanya? Atau apakah rutinitas anak saya yang berubah? Apakah anak yang lain juga membutuhkan perhatian lebih? Sering merengek adalah sinyal untuk saatnya berhubungan kembali dengan anak Anda,” katanya.
Untuk mewujudkan itu, dia meminta orangtua untuk menghabiskan waktu bersama-sama anak, seperti melakukan kegiatan membaca, memasak makanan, atau melakukan sesuatu bersama yang bisa dinikmati bersama anak-anak.
“Beberapa menit berhubungan dengan anak Anda, sekali atau dua kali sehari dapat membuat perbedaan yang besar bagi keluarga yang berurusan dengan perilaku anak yang sulit,” imbuh Bailey.
Kegiatan keluarga tersebut juga bisa Anda lakukan sambil mengajari anak untuk berlatih menguasai dan mengendalikan emosinya. Anda juga bisa mengajak anak menyalurkan emosi dengan bermain musik, melukis, bermain bola, atau permainan-permainan lainnya. Lewat permainan-permainan tersebut, anak belajar untuk menerima kekalahan, belajar untuk tidak sombong jika menang, bersikap sportif, dan belajar bersaing secara sehat.
(Koran SI/Koran SI/tty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar