Kamis, Maret 11, 2010

Sanksi Nikah Siri Rugikan Perempuan

Sejumlah organisasi perempuan yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (PKJ3) menilai RUU yang mengatur ketentuan sanksi pidana bagi pelaku nikah siri semakin merugikan perempuan.

"Dampak peraturan itu bagi perempuan seperti 'sudah jatuh tertimpa tangga'. Perempuan yang nikah siri itu kan ada banyak kasus. Ada yang terpaksa pernikahannya tidak tercatat karena ia jadi sebagai korban atau karena alasan ekonomi," ujar Koordinator PKJ3, Ratna Batara Mukti dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Ketentuan mengenai sanksi nikah siri itu diatur dalam Pasal 143 RUU Hukum Materil Bidang Peradilan Agama (RUU HMPA) yang menyebutkan bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya akan dikenai sanksi enam bulan penjara dan denda enam juta rupiah. RUU HMPA ini menjadi prioritas oleh DPR untuk dibahas pada 2010.

Ratna menjelaskan pendekatan sanksi yang netral gender itu sangat merugikan perempuan yang selama ini selalu menjadi pihak yang paling dirugikan dalam pernikahan yang tidak tercatat.

"Sanksi sosial yang diterima saja sudah cukup berat. Ini ditambah lagi perempuan yang melakukan nikah siri juga akan mendapat sanksi pidana dan dikenai denda," tutur Ratna.

Ia menilai pemerintah atau DPR yang akan membuat RUU HMPA itu sebaiknya melihat nikah siri dari realitas dan kasus-kasus yang terjadi.

Anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK), Umi Farida mengatakan dalam berbagai kasus nikah siri yang LBH tangani, ternyata bukan hanya istri pertama yang menjadi korban.

"Praktek nikah siri ini bukan istri pertama saja yang jadi korban, tapi istri ke dua, ketiga dan selanjutnya, karena istri muda juga sering terpaksa nikah siri karena menjadi korban penipuan," tutur Umi.

Ia menjelaskan sejumlah perempuan yang melakukan nikah siri mengaku terpaksa melakukan nikah siri karena ditipu oleh suami.

Menurut Umi, ada juga pasangan yang terpaksa tidak mencatatkan pernikahannya ke Kantor Urusan Agama (KUA) karena tidak memiliki uang yang cukup.

"Kalau di desa itu saya dengar kalau ingin pernikahannya dicatat dan disaksikan pejabat pernikahan harus membayar Rp250.000. Uang sebesar itu kan banyak bagi mereka," ujar Umi.

LBH APIK mencatat ada peningkatan praktek nikah siri dari tahun ketahun. Pada 2008 tercatat ada 36 kasus nikah siri yang diadukan perempuan dan pada 2009 ada 68 kasus nikah siri.

Menyikapi aturan mengenai sanksi pelaku nikah siri yang diatur dalam RUU HMPA, Ratna menilai sebaiknya pemerintah lebih memikirkan aturan mengenai perlindungan hak dan keadilan bagi perempuan tanpa memandang status pernikahan.

"Pernikahan itu kan hak sipil. Dari pada pemerintah sibuk mengurus RUU HMPA, sebaiknya fokus pada amandeman UU Pernikahan dan aturan yang melindungi keadilan bagi perempuan," tutur Ratna.

Korban Nikah Siri
Anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK), Umi Farida mengatakan dalam berbagai kasus nikah siri yang mereka tangani perempuan sering kali jadi korban karena tertipu.

"Sanksi yang akan dikenakan bagi pelaku nikah siri, baik perempuan maupun laki-laki tentunya akan tambah merugikan bagi pihak perempuan yang selama ini sering jadi korban," ujar Umi.

Salah satu korban nikah siri yang kini ditangani LBH APIK ialah Uut Utami. Uut terpaksa melakukan nikah siri karena terpaksa dan ditipu suaminya. Uut tertipu oleh suaminya yang mengatakan pernikahannya tersebut sudah tercatat di KUA.

"Saya tidak tau kalau ternyata pernikahan saya tidak tercatat. Ternyata akte penikahan saya itu palsu dan ditandatangani oleh suami saya sendiri," ujar perempuan berusia 28 itu.

Uut menceritakan, pada awalnya ia pun menikahi suaminya tanpa dasar cinta. Uut mengaku ditipu oleh suaminya itu dengan obat tidur, dan ketika sadar ia sudah berada di hotel.

"Saya juga nikah awalnya bukan karena cinta, tapi karena ingin minta pertanggungjawaban atas kehamilan saya," tutur Uut.

Pada usia kehamilan tiga bulan, suaminya tersebut baru mau menikahi Uut. Uut pun tertipu dengan kata-kata suaminya yang mengaku bahwa ia masih bujang.

Kini Uut tinggal bersama anaknya yang berusia delapan bulan di sebuah kontrakan di Jakarta Timur.

"Saya juga baru tahu kalau dia itu sudah punya istri ketika saya sudah hamil. Saya tertipu," tutur ibu dari Mandala Suryaputra Siregar.

Kini Uut masih terus menunggu hasil pengaduannya ke Polda Jakarta Timur mengenai kasus penipuan yang menimpa sirinya.

"Sudah satu tahun kasus ini diusut. Dia juga sudah dipanggil dan ia terbukti memalsukan tandatangan dalam akte pernikahan," ujar Uut.

Dengan berurai air mata Uut menceritakan kejadian yang menimpa dirinya tersebut. Ia berharap apa yang dialaminya dapat menjadi pelajaran bagi orang lain.

"Apa yang dialami saya ini biarlah menjadi pelajaran agar tidak ada lagi yang mengalami seperti saya ini," tutur Uut. [www.inilah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar