Rabu, Februari 10, 2010

Lupakan "Mr Right", Pertimbangkan "Mr Right Now"

WANITA matang yang sering kali gagal menemukan pendamping hidup, sepatutnya berhenti mencari “Mr Right”, dan mempertimbangkan “Mr Right Now” yang ada di hadapannya. Wanita harus realistis dan memahami bahwa pernikahan bukan hanya berdasarkan cinta, melainkan bentuk kemitraan dalam menjalankan hubungan.

Tidak dapat dipungkiri, sering kali wanita menjadi bodoh dengan konsep happily-ever-after yang banyak dihembuskan film-film, program televisi, maupun buku tentang cinta. Sebuah novel karya Jane Austen menceritakan, memasuki gerbang pernikahan adalah menemukan seseorang pria yang benar-benar layak dijadikan pendamping hidup. Biasanya, wanita menyebutnya dengan “The One”.

Namun sebaliknya, Gottlieb berpendapat bahwa wanita harus realistis dan memahami bahwa pernikahan bukanlah hanya berdasarkan cinta, melainkan bentuk kemitraan dalam menjalankan hubungan. Konsep ini kerap diistilahkan dengan bisnis non-profit, dan sering kali dianggap membosankan.

Gottlieb juga mengklaim bahwa wanita yang mencari “Mr Right” malah membuat dirinya merasa sendiri dan tidak bahagia. Dengan sikap itu, mereka pun menghindari “Mr Good Enough” yang mungkin bisa menjadi pasangan bagi dirinya mengarungi bahtera rumah tangga.

“Wanita lajang sering menyangkal kesempatan untuk menemukan kebahagiaan dengan kegagalan yang didapatkan sehingga ini menurunkan harapan mereka,” ujar penulis terkenal Amerika, Lori Gottlieb, sebagaimana dikutip okezone dari The Sydney Morning Herald, Rabu (10/2/2010).

Terlepas dari apa yang ditulisnya dalam novel berjudul “Marry Him: The Case for Settling for Mr Good Enough”, Gottlieb yang merupakan single mother ini membagi kisahnya hidupnya. Ia berharap bisa bertemu pria kedua untuk menjadi pendamping hidupnya.

“Impianku seperti halnya impian wanita lain. Jatuh cinta, lalu menikah, dan hidup bahagia selamanya. Aku tahu, setiap wanita tidak peduli bagaimana mereka memeroleh kesuksesan, pintar mengelola emosi, dan keuangan, mereka akan merasa panik ketika memasuki usia 30 dan belum menikah. Namun, menikah dengan seorang pria yang tidak terlalu ‘sempurna’ mungkin sama layaknya, terutama jika Anda mencari pendamping hidup yang dapat diandalkan,” ungkapnya.

Wanita berusia 40 tahun ini juga memaparkan, apa yang menjadikan pernikahan indah tidaklah sama dengan apa yang membuat hubungan pacaran menjadi romantis.

“Kita tumbuh dalam idealisme pernikahan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang lebih realistis. Kita mungkin telah melakukan banyak hal berbeda, tapi dengan menjalani hubungan yang terasa membosankan, itulah yang mungkin membuat kita bahagia,” jelas Gottlieb.

Penjelasan Gottlieb mengenai pencarian “Mr Right” juga mengundang penjelasan seorang psikolog dari Universitas Lancaster, Inggris, Prof Carry Cooper.

“Wanita tidak mampu menemukan pria impian. Tidak ada pria atau wanita yang mendapatkan pasangan sesuai dengan karakteristik yang diharapkan. Adalah sebuah keajaiban jika Anda menemukanya dalam satu paket,” kata Prof Cary Cooper.

Lebih lanjut, Prof Cooper menyarankan bahwa dalam memilih pendamping hidup, sebisa mungkin Anda menemukan seseorang dengan karakteristik yang baik atau positif. Namun, hal ini juga mengundang masalah baru.

“Masalah utama adalah banyak orang belum berhasil mendalami karakteristik orang lain. Orang perlu duduk dan bekerja di luar apa yang mereka inginkan, kemudian pergi mencari orang yang pantas dijadikan prioritas hidup," ungkapnya.

Lantas, apakah pencarian menemukan “Mr Right” merupakan alasan wanita enggan terikat komitmen pernikahan?

“Aku kadang bertanya-tanya, apakah wanita yang mengatakan bahwa mereka sedang menunggu ’Mr Right’ sebenarnya hanya menghindari hubungan atau komitmen pernikahan? Menemukan seseorang sepatutnya tidak usah terlalu rumit,” tukas Prof Cooper.
(ftr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar