Senin, April 19, 2010

Keluarga dan Anak Autis tidak Perlu Cemas

Krisis dalam keluarga dengan anak spektrum autistik biasanya jauh lebih berat daripada keluarga pada umumnya. Namun banyak cara penanganan krisis ini sehingga mereka lebih bisa tegar dan bangkit, jadi tak perlu cemas.

Dr Adriana Soekandar Ginanjar yang juga Koordinator Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI mengatakan hal itu itu pada Expo Peduli autisme 2010 di Jakarta, Sabtu (17/4).

Gangguan spektrum autistik merupakan bagian dari gangguan perkembangan anak yang ditandai terganggunya komunikasi, terganggunya sosialisasi dan adanya perilaku terbatas yang berulang. Walhasil, si anak selain menarik diri juga sering menunjukkan perilaku agresif, hiperaktif, dan reaksi marah yang meluap.

Ia menguraikan, krisis yang biasanya dialami orang tua dengan gangguan spektrum autistik antara lain saat orangtua mendapat laporan diagnosis anak yang membuat mereka terkejut dan tidak percaya.

Gangguan kesehatan fisik yang biasanya berkaitan dengan gangguan spektrum autistik seperti epilepsi, alergi kronis, masalah pencernaan dan kelainan jantung, juga membuat orang tua stres karena anak tersebut berarti memerlukan tidak hanya perhatian lebih tetapi juga biaya lebih.

Beban orang tua, ujarnya, juga semakin berat bila kehadiran anak tidak diterima oleh kerabat, tetangga dan masyarakat sehingga membuat keluarga merasa malu dan menyembunyikan si anak, belum lagi jika si anak mengalami perlakuan tidak menyenangkan (bullying) dan diskriminasi di sekolah maupun di tempat umum.

"Ketika si anak semakin berkembang menjadi remaja kemudian muncullah masalah baru yang menuntut adaptasi. Tantangan dalam mengasuh anak ini bisa berdampak pada perkawinan dan menyebabkan perceraian," kata Adriana.

Menurut dia, cara terbaik untuk bertahan dalam situasi sulit dan keluar dari krisis ini adalah dengan mengembangkan kerja sama dan saling mendukung dalam keluarga untuk melewati krisis dengan memandang masalah sebagai bagian dari kehidupan sambil melihat sisi positif sebagai pelajaran.

Ketika menghadapi stres, lanjut dia, perlu dikembangkan upaya untuk mengelola stres yang disebut sebagai strategi coping, antara lain dengan cara membuat perencanaan untuk mencari solusi, mencari dukungan sosial dan emosional dari orang lain, mengontrol ekspresi emosi negatif, memandang masalah dari sudut positif, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Autisme Dr Melly Budhiman mengungkapkan, gejala autisme yang menyerang masyarakat muncul di Indonesia sekitar 1990 dengan tidak memandang ras dan golongan ekonomi.

"Gejala ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan maupun golongan ekonomi-sosial," kata Dr. Melly Budhiman yang juga psikiatri anak.

Menurut dia, kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang autisme membuat penanganan yang dilakukan tidak maksimal, sedangkan penanganan autisme adalah jangka panjang, tidak bisa dengan cara singkat.

"Hal ini disebabkan kurangnya penaga profesional untuk menangani anak autisme di Indonesia. Di Indonesia, hanya ada 40 psikiater anak yang menangani masalah autisme" kata Melly.

Pihaknya saat ini terus akan melakukan sosialisasi mengenai autisme sehingga masyarakat bisa memahami secara benar informasi dan penanganannya.

Dengan adanya sosialisasi masalah autisme, diharapkan dapat mengedukasi masyarakat yang belum mengerti mengenai autisme, sehingga tidak ada lagi penghinaan, ejekan, maupun pelecehan terhadap para penyandang autisme.

Sebelumnya, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengatakan pemerintah akan mencanangkan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk penyandang autisme. Pemerintah menargetkan 1000 sekolah khusus bagi penyandang autisme pada 2014 dari sekitar 200 sekolah khusus yang ada.

Dalam penyelenggaraan pendidikan bagi individu autistik, sekolah tidak hanya dapat mempersiapkan materi yang tepat, tetapi juga siap salam menjembatani masalah hambatan komunikasi, dan penanganan masalah perilaku yang mungkin aja terjadi di sekolah.

Pemerintah bahkan memberikan insentif khusus bagi sekolah umum yang bersedia menerima dan mendidik anak berkebutuhan khusus.

"Pendidikan ini dimaksudkan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah umum bersama teman-teman lainnya yang normal," kata Fasli.

Expo Peduli Autisme ini selain menggelar seminar penanganan anak-anak autis dengan memberi semangat dan membekali orangtua berbagai cara praktis dari para psikiater dan psikolog serta berbagi pengalaman orangtua, juga memamerkan sejumlah lukisan cat minyak karya anak-anak autis. [www.inilah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar