Selasa, Oktober 27, 2009

Kesehatan Jiwa Tanggung Jawab Bersama

KESUKSESAN terapi gangguan kejiwaan tak hanya ditentukan kepatuhan si pasien sendiri, juga dukungan dari lingkungan sekitar. Keluarga memegang peran penting dalam kesembuhan dari gangguan jiwa.

Bulan ini, bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada setiap 10 Oktober, isu kesehatan jiwa kembali menghangat. Data menyebutkan, angka gangguan jiwa terkait neuropsikiatrik mencapai 14 persen dari keseluruhan beban penyakit global. "Untuk itu, masalah kesehatan jiwa perlu diperhatikan secara global," ujar psikiater dari FKUI/ RSCM Jakarta,dr Suryo Dharmono SpKJ(K), dalam diskusi gangguan kejiwaan yang digelar PT Astra Zeneca Indonesia (AZI) di Jakarta, kemarin.

Harapan tersebut tentu bukan tanpa dasar. Masalah mental mengenai hampir 30 persen populasi global. Kasusnya beragam, mulai yang ringan hingga berat. Dari jumlah tersebut, sekitar 1%-3% mengalami gangguan mental serius yang membutuhkan penanganan dengan terapi tepat.

"Ironisnya, sekitar 65 persen-90 persen dari penderita tidak mendapatkan pengobatan yang memadai," sebut Suryo.

Untuk kasus Indonesia, jika dihitung berdasarkan patokan global tadi, maka dengan populasi 220 juta jiwa diperkirakan 66 juta penduduk Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan hingga parah jumlahnya bahkan bisa jauh lebih banyak dari angka 2 persen-3 persen persen dalam data statistik. Terlebih dengan kondisi Indonesia yang rawan bencana, tindak terorisme dan masalah sosial ekonomi yang tak kunjung surut.

"Banyaknya ketidakpastian dan hal membingungkan yang terjadi menyebabkan orang Indonesia rentan mengalami masalah kesehatan jiwa," katanya.

"No health without mental health". Moto kesehatan jiwa yang diusung program AZI Care dari PT Astra Zeneca Indonesia itu menekankan betapa mental atau jiwa yang sehat berperan penting dalam menentukan kualitas kesehatan seseorang.
Atau sebaliknya, seseorang dengan sakit fisik, terutama yang kronis, acapkali juga mengalami setidaknya satu gangguan kejiwaan. Misalnya, orang diabetes rentan mengalami depresi; atau orang dengan HIV/AIDS yang bisa terganggu aspek kognitifnya.

Kendati penyakit kejiwaan tidak menular, Suryo mengingatkan bahwasanya jika ada salah satu anggota keluarga yang terkena gangguan jiwa berat, maka secara sistem satu keluarga tersebut ikut "sakit" sehingga kehidupan berkeluarga pun terganggu.

Ia menyontohkan kasus yang menimpa salah satu pasiennya, seorang ibu, sebut saja B (55 tahun). Kala itu B mengeluhkan dua anaknya yang ketergantungan heroin. Ia merasa sangat tertekan, lelah dan putus asa menghadapi masalah kedua anaknya itu. Sang suami bahkan tidak mau tahu dengan urusan pengobatan mereka, bahkan mengusulkan anaknya dipenjarakan saja supaya kapok.

"Akibatnya, sudah kedua anaknya mengalami gangguan jiwa karena narkoba, ibunya pun jadi ikut-ikutan terganggu jiwanya akibat tertekan dan rasa depresi. Sebaliknya, jika seorang ibu mengalami gangguan jiwa, dapat berpengaruh juga ke anak," tuturnya.

Lebih lanjut, Suryo memaparkan beberapa masalah kesehatan jiwa yang sering ditemui di masyarakat. Diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi dan kecemasan (anxiety). Sayangnya sebagian besar masyarakat masih belum menyadari atau mengenali masalah kesehatan jiwa serta dampak seriusnya.

Ambil contoh kasus bipolar dimana terjadi peralihan mood (perasaan) yang ekstrim, seringkali terabaikan sebagai perubahan perasaan yang normal. Di beberapa negara di Eropa bahkan sebagian besar orang harus melewati 5-10 tahun hingga akhirnya gejala yang mereka rasakan terdiagnosa dengan tepat sebagai gangguan bipolar.

Oleh karenanya, Suryo menekankan pentingnya mengenali gejala dan menyadarinya, lalu berupaya menerimanya dengan ikhlas. Dalam hal ini, peran serta dukungan moral anggota keluarga dan lingkungan sosial sangat diharapkan untuk mengembalikan fungsi kehidupan penderita sebagai anggota masyarakat, bukannya malah menyudutkan.

"Penyakit jiwa itu sama saja dengan gangguan fisik lainnya, sebabnya ada di otak. Kalau ada yang mendiskriminasikan atau menganggap orang dengan gangguan jiwa tidak bisa bekerja itu salah. Kami mengharapkan masyarakat luas untuk lebih berempati," beber Lili, salah satu orang dengan skizofrenia (ODS) yang mengalami skizofrenia sejak 10 tahun silam. "Saat ini saya telah aktif dan produktif bekerja lagi sebagai sekretaris Perhimpunan Jiwa Sehat," imbuhnya.

Puskesmas Pegang Peranan
Saat ini prevalensi gangguan kejiwaan di masyarakat cukup tinggi, yakni sekitar 20 persen-30 persen. Ini juga terbukti dari sejumlah pasien yang berobat ke Puskesmas, lebih dari 30 persen di antaranya juga memperlihatkan gejala-gejala distres mental (bukan gangguan mental). Misalnya pada kasus sakit maag kronis.

"Kalau dokternya jeli, gangguan ini bisa diobati lebih dini, sehingga tidak sampai menjadi gangguan jiwa serius," tandas Suryo.

Secara profesional, psikiater memang ahlinya dalam penanganan masalah kesehatan jiwa. Sayangnya, jumlah psikiater saat ini sangat kurang memadai. Bayangkan, di Indonesia hanya tersedia 1 psikiater per 500.000 orang. Nah, disinilah pentingnya peran Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer. Akan lebih baik lagi bila psikiater datang ke Puskesmas untuk melakukan pendampingan atau penyuluhan kader.

Di sisi lain, pasien sendiri pun dapat diberdayakan untuk saling berbagi pengalaman atau melakukan sistim jemput bola dengan mendatangi rumah orang dengan masalah kejiwaan yang masih enggan berobat.

"Di Puskesmas saya menjalankan peran selaku peer support dengan cara mengunjungi pasien yang mungkin sedang down mentalnya, berbagi pengalaman dan mengajak untuk kembali bersemangat melakukan pengobatan," kata Ari, salah satu penggiat di Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS).

Dr Fadhlina dari Puskesmas Tebet menilai adanya tren atau kecenderungan peningkatan angka penderita gangguan jiwa. Hingga bulan September ini misalnya, pihak Puskesmas Tebet mencatat 137 kasus piskotik yang sebagian besar adalah gangguan skizofrenia. Untuk konsultasi masalah kejiwaan, pihaknya menyediakan poli konsultasi keluarga.

"Awalnya bernama poli jiwa, tapi kemudian diganti karena masalah ?jiwa' selalu mendapat konotasi negatif. Karena Puskesmas kami belum memiliki psikolog atau psikiater, yang menangani saat ini masih dokter umum yang telah dibekali keterampilan khusus," papar Fadhlina.

Wanita berjilbab ini berpandangan bahwasanya kesehatan jiwa adalah segalanya. Menurut dia, pasien dengan masalah kejiwaan tidak bisa begitu saja diberi obat, lalu urusan dianggap selesai. Masih diperlukan terapi dalam bentuk lain, semisal pemberdayaan dan penguatan dukungan guna meningkatkan kepercayaan diri pasien, juga semangat untuk aktif dan produktif lagi. Selain itu, pasien juga butuh wadah untuk berkumpul, terutama dengan orang senasib.

"Terbukti, manakala mereka tahu ada rekannya satu RW yang juga mengalami masalah kejiwaan, mereka jadi saling kenal dan akrab, bahkan terkadang saling menitip mengambilkan obat. Terapi aktivitas kelompok seperti dengan rekreasi atau olahraga juga sebaiknya rutin dilakukan," pungkasnya. (Sumber: inilah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar