Selasa, September 14, 2010

Sudah Tepatkah Pemberian Obat untuk si Kecil?

HATI ibu mana yang bisa tenang melihat kondisi kesehatan buah hatinya menurun. Tak heran bila Moms segera memberi obat untuk menghilangkan sakit. Tapi jangan sembarang memberi obat lho!

Pasalnya, bayi dan balita memiliki sensitivitas lebih tinggi terhadap obat-obatan dibandingkan remaja dan orang dewasa.

Inilah panduan untuk Moms di rumah:
Kenali Jenisnya!
Menurut Prof Dr dr Armen Muchtar, DAF., DCP., SpFK(K), Guru Besar Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, obat yang dikenal masyarakat dibuat berbagai bentuk dengan tujuan berbeda, antara lain:

1. Tablet
Selain lebih mudah disimpan, biasanya memiliki usia pakai lebih panjang dibanding obat bentuk lainnya. Khusus untuk vitamin dalam bentuk tablet umumnya ditambahkan zat pembawa (excipient). Senyawa ini membuat tablet lebih mudah dicerna dalam usus.

2. Kapsul
Beberapa jenis vitamin yang mudah larut, seperti vitamin A, D, dan E, umumnya dikemas dalam kapsul softgel. Sedangkan vitamin atau mineral lainnya dibuat bentuk bubuk atau cair lalu dikemas dalam kapsul. Seperti tablet, kapsul juga mudah disimpan dan dikonsumsi. Dibandingkan tablet, kapsul hanya memiliki sedikit zat tambahan karena relatif mudah diserap.

3. Bubuk atau Puyer
Obat dalam bentuk bubuk bersifat individual, misalnya untuk pasien yang alergi pada kandungan obat tertentu. Namun, saat ini penggunaan puyer sudah ditinggalkan, alasannya karena praktik pembuatan puyer tidak mengikuti pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Konon saat meracik puyer, alat penggerus tidak dicuci terlebih dulu sehingga sisa obat yang menempel bercampur dengan obat baru yang akan digerus. Karena bercampur dari beberapa obat sekaligus, bila setelah dikonsumsi bayi ternyata terjadi efek samping, sulit mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping.

Jika jenis obat atau takaran di resep dokter tidak terbaca akurat oleh apoteker, bisa salah racik. Hal ini membuat puyer di beberapa negara dunia ketiga seperti Bangladesh, puyer sudah tidak diresepkan lagi.

4. Cair
Formula obat berbentuk cair tak hanya mudah ditelan, tapi juga bisa diberi tambahan rasa. Kebanyakan formula obat untuk anak dibuat dalam bentuk ini. Beberapa jenis suplemen (seperti vitamin E) dibuat pula dalam bentuk cair agar lebih mudah dipakai di kulit. Tetes mata atau obat batuk merupakan jenis lain dari obat bentuk cair.

5. Kunyah
Beberapa jenis suplemen dan vitamin, biasanya dibuat seperti permen yang mudah dikunyah. Formula kunyah ini direkomendasikan bagi mereka yang sulit mengonsumsi obat dalam bentuk pil atau tablet.

6. Tablet Isap
Beberapa jenis obat atau suplemen, misalnya vitamin B12, diformulasikan berbentuk tablet isap yang mudah larut di mulut. Tujuannya agar lebih mudah diserap masuk ke dalam pembuluh darah tanpa bercampur dengan asam lambung atau enzim di saluran cerna.

Waspadai Penggunaan Paracetamol
Apakah Moms kerap memberikan Paracetamol saat si kecil demam? Hal itu patut diwaspadai, sebab kebiasaan yang telah mengakar ini tidak selamanya baik!

"Paracetamol tidak dianjurkan untuk anak berusia di bawah tiga bulan, penggunaan obat ini sebaiknya berdasarkan resep dan setelah berdiskusi dengan dokter atau setelah bayi mendapatkan vaksinasi pertama kali. Parasetamol bisa menghambat beberapa enzim yang berbeda di dalam otak dan ikatan tulang belakang yang terlibat dalam perpindahan rasa sakit. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa penggunaan parasetamol pada bayi di bawah satu tahun bisa meningkatkan risiko asma lima tahun mendatang sebesar 46 persen," beber Prof Armen.

Dr Hindra Irawan Satari, SpA(K) dari RS Gandaria, Jakarta Selatan menambahkan, "Jika bayi Anda berusia di bawah 12 bulan mengalami demam, usahakan untuk tidak memberikan Paracetamol jika temperatur badannya belum mencapai 38,5 derajat Celcius!."

Jarak Pemberian Obat
Hal yang tak kalah penting dan sering membingungkan adalah, jarak waktu pemberian obat. Menurut Hindra, aturan yang tepat adalah jika obat harus diminum dua kali sehari, berarti jarak minum obat adalah 12 jam, Sedangkan jika dosis obat tiga kali sehari, maka interval pemberian obat adalah delapan jam.

Bila Moms lupa memberi obat pada si kecil, maka berikan sesegera mungkin begitu teringat, jangan menunggu hingga keesokan harinya!

Perhatikan Dosis!
Moms pun harus mewaspadai pemberian dosis obat untuk si kecil. Armen menyatakan, "Dosis obat diukur dari miligram per kilogram berat badan pasien. Dosis yang diberikan memiliki rentang minimal dan maksimalnya. Misal, INH (isoniazid) yang merupakan obat untuk penyakit Tuberkulosis (TBC) diberikan kepada anak-anak dengan dosis antara 5 sampai 10 miligram per kilogram berat badan. Jadi kalau BB anak 10 kg, dosisnya berkisar antara 50 sampai 100 miligram. Boleh juga mengambil dosis tengahnya, 75 miligram."

"Pada praktiknya, menentukan dosis tidak melulu terpatok dengan cara ukur seperti itu. Dokter akan mempertimbangkan hal lain seperti usia, kondisi pasien, riwayat kesehatan pasien berserta keluarga, adanya obat penyerta, dan sebagainya. Oleh karena itu, keterangan lengkap dan jujur mengenai riwayat kesehatan dan kondisi anak, sangatlah diperlukan," imbuh Hindra.

Masalah orangtua kerap bingung, biasanya terjadi pada obat bentuk cair. Contoh: obat A harus diminum tiga kali sehari sebanyak 0,6 cc. Namun dalam pipet yang diberikan tak tercantum ukuran tersebut.

Tak hanya itu, dalam kemasan obat kadang tertulis, dosis sekali minum adalah 1,5 sdt. Lantas orangtua mengartikan sebagai 1,5 sendok teh, padahal yang dimaksud adalah 1,5 sendok takar. Sayangnya, dalam sendok takar obat tidak tercantum angka itu. Yang biasanya tertulis cuma 2,5 ml dan 5 ml. Nah, tambah bingung kan?

Perbedaan satuan 'sdt' dan 'ml' saja mungkin sudah membuat dahi berkerut, apalagi kalau dijumpai sendok takar atau pipet yang mencantumkan ukuran mililiter (ml) padahal dokter dalam resepnya menentukan dosis dengan satuan centimeter cubic (cc).

"Sesungguhnya satuan ukuran cc (cubic centimeter) sama saja dengan ml (mililiter). Hanya saja oleh sebagian orang cc dirasa lebih familiar ketimbang ml. Itulah sebabnya dokter lebih sering menggunakan cc. Sendok takar obat memang memiliki keterbatasan karena hanya memiliki 2 ukuran, yakni 2,5 ml dan 5 ml. Agar lebih akurat, gunakan gelas takar yang memiliki ukuran lebih beragam, dari 2,5 ml hingga 10 ml. Juga disarankan menggunakan alat suntik tanpa jarum sebagai alat takar," ulas Armen.

Hindra mengamini, "Untuk pipet, petunjuk ukurannya memiliki peruntukan sendiri-sendiri. Pipet untuk sirop vitamin, petunjuk ukuran biasanya antara 0,3 ml-0,6 ml. Sedangkan obat penurun panas 0,4 ml-0,8 ml, obat antijamur 0,5 ml-1 ml. Jika pipet yang digunakan sesuai, kesalahan dalam penakaran obat bisa diminimalisasi."

Bagaimana dengan Antibiotika?
Untuk beberapa kondisi umum, seperti infeksi telinga dan infeksi streptokokus tenggorokan, seringkali dokter merasa perlu melipatgandakan dosis (yang memperbesar risiko terjadinya efek samping) atau memberi antibiotika jenis lain yang lebih kuat tetapi malah lebih susah ditolerir.

"Bakteri jahat tahu bagaimana melawan antibiotika. Sayangnya pada banyak kasus, resistensi terhadap antibiotika tidak menunjukkan angka penurunan. Tidak ada antibiotika khusus yang bisa menangani semua penyakit. Kerap kali anak-anak mendapat resep antibiotika untuk melawan bakteri yang resisten terhadap obat ketimbang orang dewasa," ungkap Hindra.

"Efeknya bisa sangat cepat, bila si kecil mengalami infeksi dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberian serangkaian obat antibiotika, peluang jadi resisten (kebal) akan lebih tinggi ketimbang jika sama sekali tidak mengonsumsinya. Oleh karena itu, banyak dokter yang mempraktikkan taktik baru. Dengan membatasi pemberian antibiotika sampai betul-betul diperlukan, mereka yakin kemungkinan terjadinya resistensi akan hilang seiring berjalannya waktu," tambah Armen.

Amankah Obat Bebas (Over the Counter/OTC)?
Obat bebas dapat dijual di warung, toko obat berizin, supermarket serta apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat diperlukan. Jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk.

Sebaiknya, golongan obat ini tetap dibeli bersama kemasannya. Di Indonesia, obat golongan ini ditandai lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Yang termasuk golongan ini yaitu obat analgetik atau painkiller (paracetamol), vitamin dan mineral. Ada juga obat-obat herbal, yang tidak masuk dalam golongan ini, namun dikelompokkan dalam obat tradisional (TR).

Sedangkan menurut Hindra, ada pula 'Obat Bebas Terbatas' yaitu obat yang sebenarnya termasuk obat keras tapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, namun disertai tanda peringatan.

"Tanda khususnya adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang lima sentimeter, lebar dua sentimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut ‘Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (dipegang seorang asisten apoteker) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker), karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli 'obat bebas terbatas'. Contoh obat golongan ini adalah pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik," jelas Hindra.

Tip Menyimpan Obat:
1. Simpan obat dalam wadah tertutup rapat di tempat yang sejuk dan kering pada suhu kamar. Jika obat tidak tahan terhadap cahaya, gunakan botol bewarna cokelat atau botol plastik yang tidak tembus cahaya. Beberapa obat harus disimpan di lemari pendingin tapi jangan disimpan di freezer!
2. Jangan menyimpan tablet atau kapsul di tempat panas atau lembap (termasuk di dalam mobil) karena dapat menyebabkan obat tersebut rusak.
3. Obat dalam bentuk cair jangan disimpan dalam lemari pendingin kecuali disebutkan pada kemasan obat.
Sebaiknya tidak mencampur berbagai jenis obat dalam satu wadah.(Mom& Kiddie//nsa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar